Mengenal Cara Kerja Propaganda Digital dan Opini Publik

Mengenal Cara Kerja Propaganda Digital dan Opini Publik
Mengenal Cara Kerja Propaganda Digital dan Opini Publik (www.freepik.com)

8. Teknik Manipulasi Emosi Audiens melalui Konten Provokatif

Propaganda yang efektif tidak menyasar logika, melainkan emosi. Konten yang memicu kemarahan, ketakutan, atau harapan yang berlebihan terbukti jauh lebih efektif dalam menggerakkan massa di media sosial. Para pembuat konten propaganda sangat memahami bahwa emosi yang kuat akan mematikan fungsi kritis otak manusia, sehingga pesan yang disampaikan bisa masuk tanpa hambatan.

Biasanya, narasi yang dibangun akan memposisikan suatu kelompok sebagai pahlawan dan kelompok lain sebagai ancaman. Dengan membangkitkan rasa terancam, audiens akan merasa perlu untuk membela diri atau menyerang balik, yang pada akhirnya memperkuat polarisasi. Manipulasi emosi ini membuat perdebatan di media sosial sering kali terasa sangat panas dan tidak produktif, karena yang dikedepankan bukanlah fakta, melainkan perasaan.

9. Strategi Pengulangan Narasi Tertentu secara Terus-menerus

Ada sebuah pepatah lama dalam dunia propaganda yang mengatakan bahwa kebohongan yang diulang seribu kali akan menjadi kebenaran. Di era digital, pengulangan ini terjadi secara masif melalui berbagai kanal. Kita mungkin melihat narasi yang sama di Facebook, lalu menemukannya lagi di potongan video TikTok, dan membacanya kembali di utas Twitter (X). Pengulangan lintas platform ini memberikan kesan bahwa informasi tersebut valid karena muncul di mana-mana.

Baca Juga :  Minggu Bersih AWAS Sambut Bulan Suci Ramadhan dan Hari Raya Nyepi

Secara psikologis, otak manusia cenderung lebih mudah mempercayai hal-hal yang terasa akrab atau sering didengar. Strategi pengulangan ini bertujuan untuk menciptakan keakraban tersebut. Tanpa sadar, narasi yang terus-menerus muncul di beranda kita akan mulai kita anggap sebagai sebuah fakta umum yang tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya.

10. Filter Bubble yang Membatasi Pandangan Luas Pengguna

Filter bubble atau gelembung filter adalah kondisi di mana sistem algoritma mengisolasi kita dari informasi yang bertentangan dengan pandangan kita. Berbeda dengan echo chamber yang melibatkan interaksi sosial, filter bubble adalah hasil murni dari penyaringan algoritma secara otomatis. Kita sering kali tidak menyadari bahwa kita sedang berada di dalamnya karena kita merasa tetap mendapatkan informasi setiap hari.

Baca Juga :  Siraman Rohani, Lapas Lombok Barat Gelar Dharma Wacana untuk Warga Binaan Hindu

Padahal, informasi yang kita dapatkan sudah melalui proses penyaringan ketat yang membuang perspektif-perspektif berbeda. Hal ini membatasi kemampuan kita untuk melihat sebuah isu secara utuh dan objektif. Filter bubble membuat dunia terasa sangat hitam-putih, di mana kebenaran hanya milik kelompok kita dan kesalahan selalu ada pada kelompok lain.

11. Eksploitasi Bias Konfirmasi Pengguna secara Sistematis

Setiap manusia memiliki bias konfirmasi, yaitu kecenderungan untuk mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi yang mendukung keyakinan awal mereka. Media sosial mengeksploitasi kelemahan kognitif ini dengan sangat cerdik. Algoritma akan terus menyajikan konten yang sejalan dengan apa yang sudah kita percayai, sehingga kita merasa bahwa pandangan kita selalu benar.

Ketika kita diberikan informasi yang mengonfirmasi bias kita, otak akan melepaskan dopamin yang memberikan rasa senang. Inilah yang membuat kita betah berlama-lama di media sosial. Namun, di sisi lain, hal ini membuat kita semakin tertutup terhadap kebenaran yang mungkin tidak nyaman bagi kita. Propaganda memanfaatkan celah ini untuk memperdalam keyakinan seseorang pada narasi tertentu tanpa perlu memberikan bukti yang kuat.

Baca Juga :  Polresta Mataram Bersama Polsek Sandubaya Beri Pengamanan Acara Tradisi Perang Api Umat Hindu

12. Penggunaan Iklan Politik Terprogram dengan Target Presisi

Iklan politik kini tidak lagi sekadar baliho di pinggir jalan. Melalui iklan terprogram (programmatic ads), kampanye politik dapat menargetkan individu berdasarkan lokasi, usia, hobi, hingga kecenderungan psikologis mereka. Iklan ini bisa muncul di sela-sela video YouTube atau di antara unggahan foto teman di Instagram.

Kelebihan dari iklan jenis ini bagi propagandis adalah sifatnya yang tidak terlihat oleh publik luas secara bersamaan. Seseorang bisa saja menerima iklan yang mengandung janji tertentu, sementara orang lain menerima iklan yang berisi serangan terhadap pihak lawan. Karena iklan ini bersifat privat dan tertarget, pengawasan terhadap akurasi isinya menjadi jauh lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan media tradisional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *