Imaji Air Api: Ketika Puisi Mengemban Tugas Kenabian dan Mencari Ridha Publik

“Lanskap Gersang” ini juga terasa pada puisi “Pulang Membawa Rezeki,” yang merefleksikan kondisi masyarakat “kalangan bawah” dengan latar suasana yang sangat kering. Meskipun demikian, puisi ini tidak menyerah pada kesedihan. Agus K Saputra, menurut Tjak Parlan, justru memberikan secercah harapan—bahkan kebahagiaan—lewat senyum seorang perempuan (ibu) (hal. 78).

Puisi Imaji Air Api: Simbol Perjuangan Kaum Buruh

Agus K Saputra sendiri mengungkapkan bahwa proses kreatif “Imaji Air Api” bermula dari Peringatan May Day, 1 Mei 2019, yang dikenal sebagai Hari Buruh Internasional. “Hari itu Rabu, 01-05-2019 pukul 12.25 saya berusaha mewujudkan imaji tentang sosok buruh Indonesia hingga keesokan harinya Kamis, 02-05-2019 pukul 13.05. Ini bisa dilihat di titik mangsa waktu yang tertera, tak satu pun saya berhasil mewujudkan nama itu,” ujar Agus.

Baca Juga :  Cegah Kelangkaan, Polsek Mataram Intensifkan Monitoring Pangkalan Gas Elpiji 3 Kg

Menanggapi hal ini, Dimas Valentino dalam tanggapannya menyebut nama almarhumah Marsinah, seorang aktivis buruh yang menjadi simbol perlawanan. “Clue-nya adalah pertama, diksi air sebagai kaum marginal dan diksi api sebagai para penguasa. Kedua, di halaman persembahan dengan nyata tertulis ‘teruntuk kawan-kawan buruh di mana pun berada, dengan nyala peluhnya’,” kata Dimas, yang disambut riuh peserta diskusi.

Pagelaran dan diskusi ini semakin hidup dengan penampilan Sak Sak Dance Production yang mengalihwahakan puisi “Air Api,” serta Pantjoro Sumarso yang memusikalisasi puisi “Mayapada,” “Mau Jadi Apa Kamu Kelak,” dan “Pusara Ibu.” Diskusi ini menegaskan bahwa “Imaji Air Api” bukan sekadar kumpulan puisi, melainkan sebuah pernyataan seni yang kuat, merefleksikan kegelisahan sosial dan spiritual, serta mengemban misi profetik untuk menyuarakan mereka yang terpinggirkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *