Imaji Air Api: Ketika Puisi Mengemban Tugas Kenabian dan Mencari Ridha Publik

Saat menelaah puisi berjudul “Imaji,” Iin mengamati adanya pertanyaan tentang kehadiran puisi itu sendiri: apakah puisi hanya hadir saat hidup penuh gejolak? Kata “membelit” dalam puisi tersebut memunculkan ambiguitas, apakah positif atau negatif. Namun, dengan adanya kata “memberontak” di bait selanjutnya dan kesan “kelam” di akhir, Iin menyimpulkan bahwa puisi tampaknya memang hadir ketika situasi hidup sedang bergejolak.

“Dalam pembacaan berikutnya, saya tidak menemukan adanya subjek yang tunggal yang bisa saling terhubung di puisi yang satu dengan yang lain. Dalam pembacaan yang berulang lagi, saya menemukan bahwa subjek yang bisa kita bayangkan sebagai ‘manusia’, ternyata telah hilang dalam kebanyakan puisi-puisi di buku ini,” ungkap Iin.

Yang lebih dominan, menurut Iin, adalah kehadiran benda-benda yang dilekatkan dengan sifat manusia. Ia mencontohkan puisi “Harapan Para Jelata” (Hal.17) dengan larik “gelas kosong menyendiri,” atau puisi “Perahu Koyak” (Hal.18) yang menghidupkan sebuah perahu yang dikatakan “nyalinya perlahan karam/berakhir sudah daya upaya.” Contoh lain adalah “Napas Kehidupan” (Hal.19) dengan “sepasang sepatu teronggok/di ujung hati paling sepi… ia tetap menunggu/ rinai hujan menjadi kawan/.” Bentuk paling tajam dari “benda-benda yang me-manusia” ini dapat ditemukan pada puisi “Daun Kering” (Hal.24).

Baca Juga :  Bhabinkamtibmas Mayura Dampingi Mediasi Kasus KDRT di Unit PPA Polresta Mataram

Kecenderungan ini, bagi Iin, memunculkan pertanyaan filosofis: bagaimana sesuatu bisa disebut hidup jika subjek manusia hampir tidak ada, dan digantikan oleh benda-benda yang menyandang sifat manusia? “Di manakah kemudian batas antara yang hidup dan yang mati itu?” tanya Iin, mengutip puisi “Kidung Kematian” (Hal. 28) yang berbunyi: “bagaimana harus bercerita/padamu merpati cantikku/manakala sayap tak ada. Apakah ia tetap sesuatu yang hidup manakala sayapnya tak ada? Apakah sayap yang tak ada tetap menjadikannya merpati?”

Fenomena penyandingan sifat manusia pada benda-benda ini, menurut Iin, justru membuka jalan bagi pergulatan estetika puisi Agus K. Saputra di masa mendatang. “Fokus utama bisa pada pencarian kreatif seputar puisi-puisi suasana, lebih bertumpu pada imaji nuansa ketimbang pada subjek yang terang serupa manusia. Pada kebanyakan puisi-puisi di mana yang benda lebih terlihat meng-ada dibandingkan yang manusianya, tersimpan tawaran imaji yang menarik sekaligus menantang,” tandas Iin Farliani, yang juga masuk 5 (lima) besar Daftar Pendek Kusala Sastra Khatulistiwa 2025 Kategori Kumpulan Cerpen, lewat karyanya “Mei Salon.”

Baca Juga :  Pantau Efektivitas, PN Mataram Monev Pengadilan Keliling di Lobar

Lanskap Gersang: Sebuah Metafora Krisis Sosial

Tjak S Parlan, penata letak dan desain sampul buku “Imaji Air Api,” mengamati bahwa puisi-puisi Agus K Saputra seringkali membentangkan suasana musim kering—lanskap berwarna gersang, baik secara terang-benderang maupun tersembunyi di antara pengimajian larik-larik kata. “Diksi seperti ‘kering’, ‘mengering’, ‘kemarau’, ‘membatu’, ‘berguguran’, ‘dahaga’, ‘berserakan’, ‘peluh’, telah mempertegas citraan visual lanskap berwarna gersang tersebut,” tulis Tjak Parlan (hal. 67).

Tjak Parlan mencontohkan puisi “Harapan Para Jelata” yang menurutnya mencoba menghamparkan “musim kering” sebagai metafora kemiskinan dan krisis besar akibat pandemi, resesi ekonomi, serta menipisnya ketersediaan pangan. Hal ini berdampak pada harga kebutuhan pokok yang tidak terjangkau oleh sebagian masyarakat kelas bawah. “Sawah dan ladang yang gagal panen, hutan dan sungai yang kering akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab dalam memperlakukan lingkungan,” tambahnya (hal. 69).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *