MATARAM, NTB – Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia kembali mengenang Hari Pahlawan Nasional, sebuah hari yang mengukir sejarah keberanian dan pengorbanan di Surabaya pada tahun 1945. Hari di mana darah, air mata, dan keberanian menjadi saksi lahirnya bangsa yang berdaulat. Namun, Komandan Satuan Brimob Polda NTB, Kombes Pol. Dwi Yantok Nugroho, S.I.K., M.Han., mengingatkan bahwa peringatan ini tidak boleh hanya menjadi sekadar nostalgia masa lalu.
Beliau menegaskan, semangat kepahlawanan harus diinterpretasikan ulang dan diwujudkan dalam konteks kehidupan modern, menggarisbawahi bahwa “Saatnya Kita Jadi Pahlawan di Zaman Sekarang”.
Jejak Heroik Polisi Istimewa: Dari Surabaya 1945 ke Brimob Masa Kini
Kombes Pol. Dwi Yantok Nugroho memulai pernyataannya dengan memberikan penghormatan tertinggi kepada para pejuang kemerdekaan, terutama mereka yang berjuang tanpa pamrih. Beliau menekankan bahwa perjuangan pahlawan adalah dedikasi murni untuk masa depan bangsa.
“Hari ini, 10 November, kita memperingati Hari Pahlawan Nasional hari yang selalu membuat dada bergetar mengenang perjuangan para pejuang bangsa,” ujar Kombes Pol. Dwi Yantok Nugroho.
“Mereka berjuang tanpa pamrih, bukan untuk diri sendiri, tapi untuk masa depan yang kini kita nikmati.”
Pernyataan ini tidak terlepas dari sejarah Korps Brimob Polri sendiri. Dalam pertempuran dahsyat Surabaya, 10 November 1945, pasukan Polisi Istimewa—cikal bakal Korps Brimob Polri—menjadi bagian penting dalam sejarah perjuangan. Dengan senjata sederhana, mereka bertempur berdampingan dengan rakyat, mempertahankan kemerdekaan dari serangan sekutu. Mereka adalah penegak kehormatan bangsa. Di bawah semboyan “Jiwa Ragaku Demi Kemanusiaan,” Brimob hari ini terus menjaga bara semangat itu dari Surabaya 1945 hingga di era modern.
Transformasi Medan Juang: Kepahlawanan di Era Digital
Kombes Pol. Dwi Yantok Nugroho menjelaskan bahwa medan juang telah bergeser. Dulu, para pahlawan mengangkat senjata di medan perang fisik. Namun kini, medan juangnya berbeda.
“Dulu para pahlawan mengangkat senjata di medan perang. Kini, medan juangnya berbeda bukan lagi di garis depan pertempuran, tapi di setiap langkah kehidupan kita,” tegasnya.
Menurut beliau, tantangan hari ini berpusat pada medan moral, sosial, dan kemanusiaan. Menjadi pahlawan masa kini tidak memerlukan atribut militer, pangkat, atau senjata. Ia adalah panggilan hati untuk melakukan kebaikan, sekecil apa pun dampaknya bagi sesama dan bangsa.
Tiga Pilar Kepahlawanan Modern
Kepala Satbrimob Polda NTB merinci tiga pilar utama yang harus dimiliki oleh pahlawan masa kini, yang dapat dilakukan oleh siapapun di profesi apapun:
Integritas dan Kejujuran
“Menjadi pahlawan di masa kini adalah tentang berani jujur meski sendirian,” ujarnya. Di tengah godaan disinformasi dan korupsi, kejujuran adalah bentuk keberanian sejati dan fondasi moral yang sangat krusial bagi bangsa.
Kontribusi dan Inspirasi
Kepahlawanan modern terwujud melalui transfer ilmu dan motivasi. “Memberi ilmu dan inspirasi untuk orang lain,” kata Kombes Pol. Dwi Yantok. Setiap orang yang mendorong sesamanya untuk maju dan berbagi pengetahuan adalah pahlawan yang mencerdaskan bangsa.
Kemanusiaan dan Lingkungan
Pahlawan masa kini adalah mereka yang memiliki empati dan tanggung jawab sosial. Hal ini diwujudkan dengan menolong tanpa pamrih dan melestarikan bumi dan kebaikan di sekitar kita. Setiap tindakan kecil untuk melindungi kehidupan adalah bentuk pengabdian yang mulia.
Menolak Lupa, Melanjutkan Perjuangan
Peringatan Hari Pahlawan 10 November menjadi momentum refleksi kolektif. Komandan Satbrimob Polda NTB berharap masyarakat dapat merenungkan peran masing-masing dalam membangun Indonesia yang lebih baik, dengan menjadi pahlawan di bidang profesinya.
Setiap guru yang menginspirasi muridnya, setiap tenaga medis yang berjuang tanpa pamrih, setiap petugas kebersihan yang menjaga lingkungan, semuanya adalah wujud nyata dari semangat 10 November di era kontemporer.
“Karena semangat kepahlawanan tidak lekang oleh waktu,” tutupnya, “Ia hidup di setiap hati yang mau berbuat kebaikan sekecil apa pun.”












