Berita

Tuntut Aksi Tegas, Warga Perbukitan Kirim Pesan Keras ke Pemerintah: “Penegakan Hukum Adalah Solusi!”

×

Tuntut Aksi Tegas, Warga Perbukitan Kirim Pesan Keras ke Pemerintah: “Penegakan Hukum Adalah Solusi!”

Sebarkan artikel ini

Lombok Barat – Warga perbukitan Dusun Duduk, Desa Batu Layar, kembali menyuarakan protes keras terhadap gangguan kebisingan dari warung-warung di Pantai Duduk yang terus berlangsung tanpa penanganan tegas dari pihak berwenang. Lewat kuasa hukum mereka, warga menegaskan bahwa mereka sudah cukup bersabar dan tidak lagi menginginkan proses mediasi tambahan.

“Kami tidak butuh mediasi lagi — kami butuh penegakan hukum,” tegas warga melalui Kantor Hukum Dr. I Gede Sukarmo, SH, MH & Rekan, yang kini resmi mewakili mereka.

Selama berbulan-bulan, warga perbukitan Dusun Duduk harus menahan dampak kebisingan dari musik dangdut dan karaoke yang diputar sejak pagi hingga larut malam oleh sejumlah warung di sepanjang Pantai Duduk. Suara tersebut menjalar hingga ke perbukitan, masuk ke dalam rumah, mengganggu waktu istirahat, dan menurunkan kualitas hidup masyarakat sekitar.

Meski ada pemberitaan yang menyebut seolah-olah hanya satu warga yang mengeluh, faktanya, komunitas perbukitan telah menyuarakan protes secara kolektif. “Ini adalah upaya bersama. Kami banyak, dan kami bicara sebagai satu komunitas,” ujar salah satu warga.

Prosedur Sudah Ditempuh, Tapi Tak Ada Hasil

Keluhan pertama disampaikan secara lisan sejak April 2025 kepada kepala dusun. Setelah itu, dua surat resmi dan dua petisi ditujukan kepada kepala desa, mewakili puluhan warga perbukitan. Karena tidak ada tindak lanjut berarti, warga kemudian melibatkan kuasa hukum dan melapor ke instansi terkait.

Namun, proses mediasi dianggap tidak adil dan tidak mencerminkan semangat penyelesaian konflik. Salah satu warga yang mengalami intimidasi mengungkapkan bahwa pada mediasi pertama, hanya dia yang diundang meski petisi ditandatangani banyak orang. Sementara pemilik warung datang membawa sekitar 15 orang lainnya, menciptakan suasana yang tidak aman.

“Situasinya intimidatif. Itu bukan forum penyelesaian yang adil,” katanya.

Alih-alih menyelesaikan masalah, mediasi justru diikuti dengan aksi provokatif. Dalam sebuah video yang diserahkan ke media oleh kuasa hukum warga, terlihat seorang pemilik warung mengunggah video selfie saat duduk bersama petugas Satpol PP. Setelah petugas pergi, ia mengarahkan speaker ke perbukitan, memutar musik keras, dan menunjuk ke arah rumah warga sambil tertawa. Video tersebut kemudian disebarkan secara publik di media sosialnya, bahkan mengajak warung lain ikut bergabung.

“Kami Tidak Menolak Usaha, Tapi Kami Butuh Ketenangan”

Warga juga membantah klaim bahwa musik tidak mungkin terdengar hingga perbukitan yang berjarak sekitar 1,5 km. Secara ilmiah, gelombang suara frekuensi rendah seperti bass dapat menjangkau jarak jauh, apalagi jika tanpa penghalang dan didorong angin ke arah perbukitan.

“Coba dia tinggal semalam di rumah kami, pasti akan tahu seperti apa bisingnya. Kadang-kadang bukan hanya terdengar, tapi terasa getarannya,” jelas seorang warga.

Kuasa hukum warga menyesalkan lambannya penanganan. “Pasal 503 KUHP sudah sangat jelas soal gangguan terhadap ketertiban umum. Ini bukan masalah kecil atau pribadi. Ini pelanggaran nyata dan sudah terjadi berulang-ulang. Warga tidak butuh dialog tambahan, mereka butuh penegakan hukum,” tegas Dr. Sukarmo.

Ia menambahkan bahwa pihaknya akan terus mendampingi warga hingga ada tindakan hukum yang konkret.

Respons Satpol PP

Menanggapi laporan tersebut, Plt. Kepala Satpol PP Lombok Barat, I Ketut Rauh, mengakui telah menerima aduan warga secara langsung di kantor Satpol PP. Menurutnya, pihaknya telah meminta perangkat kecamatan untuk melakukan mediasi terlebih dahulu bersama kepala desa dan kepala dusun.

“Kami sudah terjunkan tim pendamping ke lokasi. Kami tunggu hasil mediasi di tingkat kewilayahan. Kalau tidak selesai, kami dari kabupaten akan turun langsung mengambil tindakan,” ujar Rauh kepada wartawan, kemarin.

Meski demikian, hingga saat ini, warga menyatakan belum ada perubahan. Musik keras tetap berlangsung dan mereka merasa terus dibiarkan dalam ketidakpastian.

“Kami tidak menolak usaha atau pariwisata lokal. Tapi warga kami berhak atas ketenangan, perlindungan, dan penegakan hukum yang semestinya. Tidak adil kalau korban diminta terus-menerus bernegosiasi dengan pelanggar aturan,” tutup kuasa hukum.