Berita

Asal Ada Jalan Keluar, Pedagang Tuak Suranadi Buka Suara Siap Tertib

×

Asal Ada Jalan Keluar, Pedagang Tuak Suranadi Buka Suara Siap Tertib

Sebarkan artikel ini

Lombok Barat – Para pelaku usaha tuak di Desa Suranadi, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, saat ini tengah menghadapi ketidakpastian. Produksi tuak yang telah menjadi minuman beralkohol tradisional hasil fermentasi air nira dan akar bajur ini terancam ditertibkan dan ditutup oleh pemerintah daerah.

Padahal, bagi masyarakat setempat, usaha tuak bukan sekadar bisnis, melainkan bagian dari tradisi dan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun. Salah satu pelaku UMKM, Wayan Puja, berharap pemerintah tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Ia menegaskan bahwa para pedagang siap mengikuti aturan, asalkan diberikan solusi yang adil.

“Kami bukan melawan aturan, kami siap diatur, tapi tolong berikan solusi. Dari lebih 30 kafe, ada sekitar 200 pekerja, ratusan penadep, dan ribuan keluarga yang hidup dari usaha ini. Bahkan anak-anak mereka bisa kuliah dan jadi sarjana berkat penghasilan dari tuak,” ujar Wayan Puja.

Wayan juga menyoroti potensi wisata budaya di Suranadi yang selama ini menjadi daya tarik wisatawan lokal maupun luar daerah. Menurutnya, banyak wisatawan yang sengaja datang untuk menikmati suasana pedesaan sekaligus mencicipi tuak sebagai bagian dari pengalaman budaya yang otentik.

“Kalau usaha ini harus ditutup, beri kami solusi. Ribuan warga yang hidup dari bisnis ini mau kerja apa nanti?” tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa legalisasi minuman beralkohol tradisional sebagai bagian dari kearifan budaya sudah berlaku di beberapa daerah di Indonesia, seperti Sopi di Maluku, Ballo di Toraja, dan Tuak Batak di Sumatera Utara.

Menurutnya, ada tiga langkah penting yang perlu ditempuh agar usaha tuak bisa berjalan dengan tertib dan legal:

Penerbitan regulasi khusus, baik dalam bentuk peraturan daerah (perda) atau peraturan desa (perdes) yang mengatur batasan produksi, distribusi, usia konsumsi, izin usaha, dan pajak daerah.

 

Pengawasan standar keamanan pangan oleh BPOM dan Dinas Kesehatan untuk memastikan tuak yang dikonsumsi aman dan bebas dari bahan berbahaya.

Pengakuan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) agar tuak diakui secara resmi oleh pemerintah pusat sebagai bagian dari kekayaan budaya lokal.

“Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi soal warisan budaya yang sudah turun-temurun dari leluhur kami,” pungkas Wayan Puja.