MATARAM – Suara lantang tuntutan keadilan menggema di depan Markas Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB), Selasa (7/5). Belasan massa yang tergabung dalam Konsorsium Aktivis Nusa Tenggara Barat menggelar Aksi Akbar Jilid II, menuntut aparat penegak hukum bertindak cepat dan tegas mengusut tuntas dugaan perusakan lingkungan yang mencoreng kawasan pesisir Pangsing, Sekotong, Lombok Barat.
Aksi yang berlangsung penuh semangat ini menjadi bentuk perlawanan terhadap praktik reklamasi dan penambangan galian C ilegal yang diduga kuat telah merusak ekosistem hutan mangrove yang vital di wilayah tersebut. Selama 30 menit berorasi, para aktivis menyampaikan dua tuntutan krusial: menyeret oknum pelaku perusakan ke meja hijau dan memproses hukum pejabat yang diduga turut terlibat dalam praktik haram ini.
“Kami tidak akan tinggal diam melihat alam kami dirusak! Kami akan terus mengawal kasus ini hingga para pelaku bertanggung jawab di hadapan hukum!” pekik Lalu Renggi Hasbana Saputra, Koordinator Umum aksi, dengan nada membara.
Konsorsium yang terdiri dari gabungan aktivis NTB, Gerakan Aktivis Pemuda Mahasiswa (GAPM), dan Aliansi Pemuda dan Masyarakat Anti Korupsi (ALPA) NTB mengungkapkan bahwa praktik reklamasi di Pangsing terjadi secara terang-terangan sejak April 2025. Mereka membeberkan bukti penimbunan material tanah ke kawasan pesisir tanpa mengantongi izin resmi. Ironisnya, lokasi tersebut bahkan telah disegel oleh Dinas Tata Ruang PUPR Lombok Barat bersama Satpol PP pada 23 April 2025 lalu, namun aktivitas perusakan diduga masih berlanjut.
Para aktivis dengan tegas menyatakan bahwa tindakan ini jelas melanggar sejumlah regulasi penting yang seharusnya menjadi payung hukum perlindungan lingkungan, di antaranya:
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan Lindung
Momen krusial terjadi ketika Kapolda NTB menunjukkan respons positif dengan turun langsung menemui para demonstran. Orang nomor satu di kepolisian NTB itu kemudian mengundang lima perwakilan aktivis untuk melakukan dialog tertutup di dalam markas. Dalam pertemuan yang berlangsung konstruktif, pihak Polda NTB menyatakan komitmennya untuk mengusut tuntas kasus dugaan perusakan lingkungan ini secara menyeluruh dan berjanji akan menyampaikan perkembangan penyelidikan dalam waktu dekat.
“Kami akan dalami dan tindak lanjuti laporan dari rekan-rekan aktivis. Proses hukum pasti akan berjalan,” tegas Kapolda NTB di hadapan para pengunjuk rasa, yang disambut dengan sedikit kelegaan dari massa.
Kendati demikian, para aktivis menegaskan bahwa perjuangan mereka belum mencapai garis akhir. Konsorsium menyatakan akan terus mengawal kasus ini dengan seksama hingga pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal. Bahkan, sebagai bentuk eskalasi isu ke tingkat nasional, tembusan tuntutan telah dikirimkan kepada Presiden Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Jaksa Agung, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
“Lingkungan ini bukan warisan dari nenek moyang, tapi titipan dari anak cucu kita. Dan kami tidak akan pernah diam jika titipan itu dirusak!” seru Ahmad Tamam, salah satu koordinator lapangan aksi, dengan nada penuh keyakinan.
Aksi Akbar Jilid II ini menjadi sinyal kuat bahwa masyarakat sipil di Nusa Tenggara Barat tidak akan tinggal diam dalam menghadapi kejahatan lingkungan. Dengan semangat perjuangan yang membara, para aktivis telah menyampaikan aspirasi mereka dengan lantang. Kini, seluruh mata tertuju pada langkah konkret aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti tuntutan tersebut, demi tegaknya keadilan lingkungan di Bumi Gora.