Kediri Lombok Barat – Bulan suci Ramadhan telah berlalu, meninggalkan jejak penguatan diri melalui kesabaran dan ketahanan dalam menghadapi berbagai godaan. Satu bulan penuh umat Muslim menempa diri, melakukan introspeksi mendalam dalam perjalanan spiritual personal. Kini, diiringi sukacita, Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriah hadir sebagai penanda kemenangan dan babak baru dalam kehidupan bermasyarakat.
Memasuki bulan Syawal 1446 H, Idul Fitri menjadi momentum yang sarat makna komunal. Tradisi saling bermaaf-maafan, berjabat tangan erat, dan mempererat tali silaturahmi dengan keluarga serta masyarakat luas menjadi ciri khas perayaan ini. Inilah saatnya membersihkan diri tidak hanya dalam dimensi individual, namun juga dalam konteks kolektif.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus:
“تَصَافَحُوايَذْهَبِالْغِلُّوَتَهَادَوْاتَحَابُّواوَتَذْهَبِالشَّحْنَاءُ”
“Bersalamanlah kamu, ia menghilangkan dengki. Saling memberi hadiahlah kamu, maka kamu akan berkasih sayang dan menghilangkan permusuhan.”
H. Mashuri, seorang tokoh masyarakat dari Dusun Kr.Kuripan Baru, Desa Kediri, menekankan bahwa Idul Fitri adalah ruang “ishlah” atau perbaikan, serta momentum untuk membangun kebersamaan. Tradisi “Roah Bareng” yang hidup di masyarakat menjadi refleksi nyata dari nilai-nilai gotong royong dan persatuan yang kembali digelorakan.
Gema takbir “Allahu Akbar, Wa Lillahi hamdu” berkumandang syahdu dari setiap surau dan masjid, mengiringi malam pergantian menuju 1 Syawal 1446 H. Pujian keagungan Allah SWT menggema, menciptakan suasana khidmat yang mengingatkan akan betapa fana dan penuh dosa kehidupan manusia. Lantunan takbir menjadi penanda syukur atas kebesaran-Nya sekaligus ajakan untuk membersihkan diri melalui saling memaafkan.
Dalam ranah sosial, Idul Fitri hadir sebagai wadah ishlah yang krusial untuk memperbaiki hubungan antar sesama. Gesekan, kesalahpahaman, atau bahkan konflik yang mungkin terjadi selama ini diharapkan dapat diurai dan diluruskan. Idul Fitri menjadi kesempatan emas bagi setiap individu untuk berdamai, melakukan introspeksi diri, dan membangun kembali harmoni dalam interaksi sosial.
“Sungguh, momentum ini akan membawa dampak positif yang besar bagi nilai-nilai kemanusiaan,” ujar H. Abdul Azis Faradi, M.Pd. “Jejaring sosial kembali dirajut, kebersamaan kembali dikuatkan untuk menemukan solusi demi persatuan. Intinya adalah ishlah.”
Lebih lanjut, H. Abdul Azis Faradi menyampaikan keyakinannya bahwa Tuhan akan senantiasa membersamai cinta kasih di antara makhluk-Nya. Nilai-nilai toleransi, tenggang rasa, dan gotong royong menjadi harapan besar untuk mewujudkan peradaban yang lebih baik. “Maju mundurnya peradaban salah satunya ditandai oleh persatuan, solidaritas, dan kekompakan kita di masyarakat,” tegasnya.
Nikmat Tuhan yang telah dilimpahkan patut disyukuri sebagai bagian dari cara berbangsa dan bernegara. Upaya membangun logika kemanusiaan yang kuat menjadi fondasi penting dalam memastikan pembangunan negeri ini berkelanjutan. Dengan semangat persatuan dan niat ibadah, bangsa Indonesia diyakini mampu menyongsong peradaban yang lebih maju, menuju rahmatan lil alamin.
Dalam konteks kepemimpinan bangsa saat ini, H. Abdul Azis Faradi mengajak seluruh elemen masyarakat untuk kembali mempererat persatuan dan kesatuan. Ketaatan kepada pemimpin (Ulil Amri) dipandang sebagai ikhtiar bersama dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Penulis: H. Abdul Azis Faradi, M.Pd.