Opini — “Pilrek UNRAM dan Tanggung Jawab Moral Merawat Integritas Proses dari Regulasi ke Legitimasi” menyoroti pentingnya konsistensi pada regulasi, termasuk pembatasan usia maksimal 60 tahun dalam proses pemilihan rektor. Namun, artikel tersebut perlu dilengkapi dengan perspektif interdisipliner—psikologi, sosiologi, demografi, dan statistik—yang memberikan makna lebih dalam terhadap usia 60 tahun. Ketegasan administratif semestinya berjalan beriringan dengan keadilan akademik dan prinsip meritokrasi.
1. Perspektif Psikologi: Usia 60 Tahun Bukan Batas Daya Intelektual
Dalam psikologi perkembangan, khususnya pendekatan lifespan oleh Erik Erikson, usia 60 tahun justru merupakan puncak generativity—yakni kemampuan individu untuk terus menghasilkan karya, membimbing generasi muda, dan menjaga warisan intelektual. Banyak ilmuwan dan pemimpin justru mencapai produktivitas maksimal pada usia ini. Maka, pembatasan usia sebelum ulang tahun ke-61 seharusnya tidak dipahami sebagai penghalang, tetapi sebagai titik transisi yang wajar, bukan sebagai akhir potensi.
2. Perspektif Sosiologi: Usia dan Kepemimpinan adalah Soal Peran Sosial, Bukan Angka
Sosiologi memandang usia sebagai konstruksi sosial. Teori Role Continuity menekankan bahwa individu yang mempertahankan peran sosialnya meski bertambah usia justru memiliki stabilitas psikososial dan kapasitas adaptasi tinggi. Maka, membolehkan calon rektor hingga usia 60 tahun (sebelum ulang tahun ke-61) bukan bentuk penolakan terhadap kaderisasi muda, justru menjadi ruang pembuktian bagi yang muda untuk menunjukkan keberanian, kemampuan, dan semangat kompetisi sehat dalam kontestasi. Yang tua tidak menjadi penghalang, dan yang muda tidak kehilangan peluang.
3. Perspektif Demografi: Usia Produktif Telah Bergeser
Data BPS (2023) menunjukkan bahwa harapan hidup orang Indonesia kini berada di angka rata-rata 73 tahun, dan dalam dunia kerja, batas usia pensiun juga telah banyak bergeser menuju angka 65 tahun. Artinya, usia 60 tahun masih tergolong produktif, khususnya dalam konteks akademik. Banyak profesor, doktor, dan pemimpin kampus yang tetap aktif menulis, meneliti, dan memimpin program internasional setelah usia 60 tahun. Maka, pemaknaan usia 60 sebagai batas maksimal untuk mendaftar rektor, selama belum mencapai 61 tahun, masih sangat relevan dan proporsional secara demografis.
4. Perspektif Statistik: Tidak Ada Penurunan Kinerja Signifikan di Usia 60
Riset produktivitas akademik di berbagai negara menunjukkan bahwa performa dosen dan peneliti tidak mengalami penurunan signifikan pada usia 60 tahun. Justru pada usia ini, pengalaman, jaringan, dan ketajaman intuisi akademik menjadi aset besar. Di kampus-kampus maju seperti di Jepang, Jerman, bahkan Indonesia sendiri, banyak rektor dan dekan yang menjabat aktif hingga usia 65 tahun. Maka, secara statistik, tidak ada justifikasi ilmiah bahwa usia 60 adalah akhir dari kapasitas kepemimpinan akademik.
Bukan Kepentingan Sesaat, Tapi Panduan bagi Senat ke Depan
Pembukaan ruang bagi calon yang telah berusia 60 tahun (belum 61 tahun) bukanlah manuver sesaat untuk mengakomodasi individu tertentu. Ini adalah pembelajaran penting dan warisan kelembagaan agar Senat Universitas Mataram di masa mendatang memiliki pedoman yang tidak multitafsir dalam menafsirkan regulasi usia. Kejelasan ini akan menghindarkan perdebatan polemik yang dapat mengganggu stabilitas proses akademik.
Contoh Praktik di Tingkat Nasional
Sebagai contoh, Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh, DEA, mantan Mendikbud, menjabat sebagai Ketua Dewan Pers saat usianya di atas 60 tahun. Prof. Mahfud MD juga masih menjadi tokoh sentral negara bahkan saat usianya melewati 60 tahun. Dalam dunia kampus, rektor perguruan tinggi negeri ternama seperti UGM, IPB, dan UI pun banyak yang terpilih pada usia mendekati atau lebih dari 60 tahun. Ini menunjukkan bahwa usia tidak menjadi penghalang legitimasi, selama prosedur dan etika dijunjung tinggi.
Tidak Ada yang Dirugikan
Menarik batas usia pada sebelum ulang tahun ke-61 tidak serta-merta merugikan siapa pun di lingkungan civitas akademika Universitas Mataram. Justru, dengan pendekatan ini, semua pihak diberikan ruang yang setara: yang senior tidak didiskriminasi, dan yang muda tetap berkesempatan membuktikan kapasitasnya. Apa yang diperjuangkan adalah keterbukaan, keadilan prosedural, dan penghormatan terhadap potensi terbaik dari seluruh insan akademik.
Penutup: Saatnya Bijak Menafsirkan Regulasi
Regulasi tidak bisa dibaca sebagai teks yang kaku. Ia harus dibaca dalam semangat nilai dan konteks. Membatasi usia calon rektor hanya sampai angka 60 tanpa memberi ruang transisi sampai ulang tahun ke-61 adalah bentuk penyederhanaan yang berpotensi menutup ruang kontribusi terbaik dari tokoh akademik berpengalaman. Senat UNRAM diharapkan menjadi pelopor interpretasi progresif yang berakar pada logika keilmuan, bukan hanya administratif.
Penulis:
MA Muazar Habibi
Tim Kajian Interdisipliner Psiko-Sosial & Demografi Pendidikan Tinggi, Ketua Panitia Seleksi JPTP Nasnional