Lombok Timur – Keberadaan PT. Autore Pearl Culture yang beroperasi di kawasan wisata Pantai Pink, Desa Sekaroh, Kabupaten Lombok Timur, terus menuai kontroversi. Nelayan setempat mengungkapkan kerugian yang mereka alami akibat aktivitas perusahaan budidaya mutiara asal Australia ini. Sejak perusahaan beroperasi lebih dari dua dekade lalu, nelayan dan masyarakat sekitar mengaku semakin sulit mencari nafkah dan mengalami kerusakan lingkungan laut.
Kepala Dusun Telone, Sahlan, dalam konferensi pers yang dihadiri oleh berbagai media, menegaskan bahwa sejak keberadaan PT. Autore Pearl Culture, biaya melaut menjadi sangat mahal, sementara hasil tangkapan ikan semakin menurun. “Kami harus berlayar lebih jauh untuk mencari ikan karena kawasan laut yang biasa kami pergunakan kini dijadikan lokasi budidaya mutiara oleh perusahaan asing ini,” ujar Sahlan dengan nada kesal. Bahkan, ia menambahkan bahwa perusahaan tersebut tidak memberikan kontribusi sosial kepada masyarakat, baik dalam bentuk bantuan atau sosialisasi.
Sebagai bentuk protes terhadap perusahaan, puluhan warga Dusun Telone membentangkan spanduk di sepanjang Pantai Pink, menuntut agar PT. Autore Pearl Culture segera meninggalkan wilayah mereka. “Kami rela berpanas-panasan untuk menyuarakan penolakan ini. Kami bukan hanya merasa dirugikan, tapi juga dihancurkan mata pencaharian kami,” tegas Sahlan.
Masyarakat setempat mengungkapkan bahwa perusahaan terus memperluas area keramba mutiara tanpa persetujuan warga. Nelayan kini terpaksa memutar jauh untuk menghindari keramba yang sudah memasuki wilayah mereka. Bahkan, kendaraan wisata seperti boat dan speedboat yang digunakan untuk snorkelling dan diving juga dilarang melintas di dekat area keramba.
Suparman, seorang pegiat pariwisata di Desa Sekaroh, menambahkan bahwa kerusakan terumbu karang di kawasan Pantai Pink sudah sangat parah akibat jangkar keramba mutiara. Ia juga menyebutkan bahwa motor perahu nelayan sering rusak karena terjerat tali keramba, memaksa mereka mendayung perahu sampai ke bibir pantai. “Pantai Pink adalah kawasan wisata, bukan tempat peternakan mutiara,” ujarnya dengan tegas.
Masyarakat berharap pemerintah, baik Provinsi NTB maupun KPK Direktorat Koordinasi dan Supervisi, segera mengevaluasi izin dan aktivitas PT. Autore Pearl Culture. Mereka menuntut agar kerusakan lingkungan laut yang terjadi segera diperbaiki dan mata pencaharian nelayan yang terganggu diperhatikan.
Pendapat Kepala Desa dan Perusahaan
Namun, Kepala Desa Sekaroh, H. Mansur, menyatakan bahwa selama ini PT. Autore Pearl Culture telah memberi kontribusi positif bagi desa, salah satunya dengan menyerap tenaga kerja lokal. “Jika ada masalah, mari duduk bersama untuk mencari solusi. Saya baru tahu tentang penolakan ini,” katanya.
Sementara itu, pihak PT. Autore Pearl Culture melalui kuasa hukumnya menegaskan bahwa mereka memiliki izin sah untuk beroperasi. “Kami telah mengikuti semua prosedur perizinan yang berlaku dan selalu berkoordinasi dengan pemerintah daerah,” jelas kuasa hukum perusahaan, Donal Fariz, dalam keterangan tertulisnya.
Namun, Pemprov NTB mengonfirmasi bahwa aktivitas budidaya mutiara di kawasan wisata Sekaroh tidak memiliki izin. Sekretaris Daerah NTB, Lalu Gita Ariadi, menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan pengecekan dan sinkronisasi terkait permasalahan ini.
Terkait dengan izin yang bermasalah, Ketua Indonesia Construction Watch, Lalu Mukarraf, menduga adanya praktik tindak pidana korupsi di balik pembiaran aktivitas ilegal PT. Autore Pearl Culture. Ia menyebutkan bahwa perusahaan ini telah beroperasi selama hampir 10 tahun tanpa izin yang jelas, meskipun telah beberapa kali mendapatkan surat peringatan dari pemerintah.
“Sudah banyak bukti bahwa perusahaan ini melakukan aktivitas secara ilegal. Kami akan membawa kasus ini ke KPK untuk penyelidikan lebih lanjut,” ungkap Mukarraf. Ia juga menyoroti kerusakan terumbu karang dan dampak negatif lainnya yang ditimbulkan oleh aktivitas perusahaan.
Perdebatan mengenai keberadaan PT. Autore Pearl Culture di Desa Sekaroh masih terus berlangsung. Sementara pihak perusahaan mengklaim memiliki izin yang sah dan memberikan kontribusi positif, masyarakat setempat, terutama nelayan dan pegiat pariwisata, merasa dirugikan oleh kerusakan lingkungan dan terbatasnya akses mereka ke laut. Pemerintah daerah dan pihak berwenang diharapkan segera menyelesaikan konflik ini dengan memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal.